Friday, June 1, 2012

Papaku dan Petromaksnya

Waktu telah menunjukkan pukul 23.00 WIB saat Ricko mengantarku ke rumah. Pintu gerbang telah dikunci dan itu berarti aku harus memanjat seperti biasanya.
“Lo masih bisa masuk nic?”
“Masih bisa kok, gue kan bawa serep”
“Oh yaudah, gue balik ya, lo buruan masuk gih”
“Iya, makasih ya ko”
“Yoi, sama-sama”
Aku segera menuju gerbang dan siap untuk memanjatnya. Sebelumnya tas dan kantong belanjaan terlebih dulu kulemparkan ke dalam pekarangan rumah. Memanjat gerbang adalah rutinitasku beberapa hari belakangan ini. Rasa sepi dan bosan membuatku malas berada di rumah.
“Heppp, tinggi banget sih lo gerbang, capek gue manjat lo mulu”
Aku membereskan tas dan kantong belanjaanku sambil mengeluarkan kunci serep dari dalamnya. Dari luar keadaan dalam rumah tampak gelap tanpa ada sedikitpun cahaya. Dengan terburu-buru aku bergegas menuju pintu depan dan memasukkan kunci.
“Wow. Kog gelap banget sih? Gak takut digigit nyamuk apa ya nich orang-orang rumah?”
Secara tiba-tiba lampu di ruang depan hidup.
“Dari mana kamu baru pulang jam segini?”
“Abis pesta sama temen-temen”
“Emang kamu gak punya kerjaan lain ya selain pesta?”
“Gak ada”
 “Tadi guru kamu telpon Papa, katanya kamu udah 2 hari gak masuk sekolah”
 “Monic udah males sekolah Pa, sekolah itu gak asik, Monic mau stop aja dech”
“Monic ! Kamu udah nakal ya sekarang !”
“Papa juga nakal tuh, tiap jam makan siang langsung pulang buat nemuin si Tante Ratih, mentang-mentang bos gitu jadi seenaknya sendiri”
“Monic !! Jangan kurang ajar, Tante Ratih itu kolega Papa”
“Tauk ah, gak peduli. Udah ya Pa, Monic capek mau tidur dulu”
Papa tetap memanggil-manggil, tapi aku tak peduli dan segera masuk ke kamar. Papa sudah membuatku sakit hati dengan memilih Tante Ratih sebagai calon pengganti Mama. Dulu Papa sangat menyayangiku bahkan sampai Mama tiada Papa tetap menyayangiku dan peduli dengan semua aktivitasku. Tapi sekarang, semenjak Tante Ratih hadir, Papa berubah. Papa tak pernah lagi menjemputku, Papa tak pernah lagi menanyakan bagaimana aku di sekolah, dan Papa tak pernah lagi mau kuajak makan bersama.
“Ma, aku kangen. Aku sendiri disini, Papa gak sayang lagi sama Monic, Papa cuma sayang sama Tante Ratih. Monic kangen sama Papa yang dulu”
Aku terus menangis sambil memandangi foto kami bertiga. Didalam foto itu, Papa dan Mama sedang  mencium pipiku sementara aku mengelus pipi mereka berdua. Foto itu diambil tiga tahun yang lalu saat aku berulang tahun ke-14. Andai Mama masih ada mungkin aku tak seperti sekarang. Aku yang sekarang seperti anak yang tak pernah diurus, yang liar dan nakal. Air mata yang terus menetes akhirnya membuatku tertidur pulas.

                                                                        *
“Monic, bangun yok nduk, udah jam 6”
“Hoamm, udah pagi ya Mbok”
“Udah jam 6 nduk, mandi yok biar sarapan, mbok udah siapin nasi goring kambing dimeja”
 “Nasi goreng kambing? Tumben mbok masak itu”
“Mbok inget aja kalo kamu udah lama gak nyicip makanan itu, makanya mbok buatin”
 “Iya deh, makasih ya mbok ku sayang, sini peluk Monic mbok”
 Mbok Ratna adalah pembantu di keluarga kami. Sejak kecil ia telah ikut dengan kami dan sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Saat-saat Mama sedang dirumah sakit, mbok Ratna-lah yang mengurus semua keperluanku. Maka itu aku begitu menyayanginya.
“Nduk, tadi malam mbok denger kamu berantem lagi sama Bapak”
“Iya mbok, Monic kesel. Semenjak ada Tante Ratih, Papa gak sayang lagi sama Monic”
“Kok ngomongnya gitu? Papa sayang kamu kok nduk, percaya deh sama mbok”
“Mbok kok bisa yakin?”
 “Kamu tahu gak kalau sebenarnya Papa gak pernah tidur sebelum kamu pulang nduk”
“Iya apa?”
“Iya nduk, Papa nungguin kamu terus sampai pulang”
“Kok Monic gak pernah tahu?!”
“Makanya Monic gak boleh langsung nuduh yang jelek. Eh nduk, udah jam 6.15, kamu buruan mandi gih”
“Eh iya ya, Monic mandi dulu ya mbok”
Karena keasikan cerita, aku jadi lupa waktu. Segera aku mandi sementara mbok Ratna menyiapkan buku yang akan kubawa. Tak lama kemudian aku telah rapi dan siap untuk berangkat.

                                                                        *
Aku tak bisa lagi fokus dalam menerima pelajaran. Yang kulakukan setiap hari  hanya melamun memikirkan Papa yang semakin jauh dariku. Untungnya aku dekat dengan Bu Tyas, Guru BK di sekolahku. Setiap masalah yang kuhadapi selalu kuceritakan padanya termasuk hubunganku dan Ayah yang tak lagi harmonis seperti dulu.
“Bu, saya ngerasa sendiri”
“Itu cuma ketakutan kamu saja nak, mereka yang ada dirumahmu pasti menyayangimu”
“Kalau Mbok Ratna dan Pak Anton mungkin iya Bu, tapi Papa”
“Kamu terlalu berpikir pendek, coba kamu lihat apa yang Papa lakuin selama ini untukmu. Sekalipun dia sibuk, di hari Sabtu ia selalu menyisihkan waktu untukmu bahkan sampai sekarang”
 “Iya sih Bu, tapi”
“Yaudahlah, gak usah dilanjutin lagi. Sekarang mending kamu pulang saja. Tenangin pikiran dan hatimu, ibu harap kamu bisa mengubah pikiran negatifmu akan Papamu sendiri”
“Mudah-mudahan ya Bu, saya gak janji. Permisi Bu”
Setiap orang yang tahu akan masalahku tak pernah mau membelaku. Mereka selalu mengatakan wajar atas sikap Papa yang seperti itu. Selama perjalanan pulang aku hanya diam memikirkan kata-kata Bu Tyas. Lima belas menit kemudian aku sampai di rumah dan melihat mobil Papa ada di garasi. Sudah kuduga pasti Tante Ratih ikut serta dengannya dan ternyata dugaanku benar.
“Eh Monic udah pulang ya sayang”
 “Hmm”
“Nic, Papa minta tolong ya”
 “Minta tolong apa?”
 “Tolong tambahin minum Tante Ratih, Mbok Ratna lagi ke warung”
Dengan wajah tak bersahabat aku mengambil gelas di meja itu dan membawanya ke dapur. Ide jahilku muncul saat melihat botol merica di rak bumbu. Aku ambil keripik pedas yang ada di lemari kemudian aku tuangkan setengah botol merica kedalamnya lalu aku goyang-goyangkan agar merica tercampur rata dengan keripik itu. Dengan senyum yang dipaksa, kubawa nampan berisi air sirup dan satu toples keripik ke ruang tamu. Papa yang melihat keramahanku merasa senang karena mungkin ia mengira aku tlah mengalah dan mau menerima Tante Ratih.
“Makasih Monic”
“Sama-sama Tante. Monic ke kamar dulu ya Pa, Tan”

Aku segera masuk kekamar, rasanya tak sabar menunggu reaksi Tante Ratih saat melahap habis keripik itu. Berdasarkan cerita Papa, aku tahu kalau ia sangat menyukai keripik pedas.
Lima belas menit kemudian terdengar suara rintihan dari ruang depan.
 “Aduhh”
 “Loh, kenapa dik?”
 “Perutku mas”
“Perutnya kenapa? Sakit?”
“Iya mas, kayaknya keripik yang aku makan kebanyakan merica”
“Yaudah kita periksa ke klinik aja yok, saya antarin”
“Iya mas”
Di dalam kamar aku bersorak kegirangan mendengar rintihan Tante Ratih.
“Rasain lo, pedes kan keripiknya? Sama kayak pedes hidup gue setelah lo datang dan ngerebut bokap gue”

                                                                        *
Satu jam kemudian.
“Moniccc ! Dimana kamu ? Keluar sekarang !”
Oops ! Papa memanggilku.
 “Apaan sih Pa? Mesti ya teriak-teriak dalam rumah?”
 “Papa tahu ini semua ulah kamu, kamu kan yang naruh bubuk merica di dalam keripik karena kamu tahu Tante Ratih suka keripik pedas”
 “Ih, ngapain juga Monic kayak gitu, kayak kurang kerjaan aja”
 “Moniccc !”
“Udahlah Pa, ngapain juga Tante Ratih diurusin terus, Monic ini yang diurus, Monic anak Papa, bukan Tante Ratih”
 “Moniccc !”

Plak
“Papa jahat! Papa gak sayang lagi sama Monic !”
Seumur hidupku baru kali ini Papa menamparku. Aku lari ke kamar dan tak memedulikan Papa yang memanggil-manggilku
Sampai malam aku tak keluar dari kamar dan pada saat semua telah tertidur aku keluar dengan membawa tas berisi baju-bajuku. Tak lupa aku membawa celengan, persediaan makanan, gadget, dan buku tabunganku. Aku tak tahan lagi dirumah
“Ini kuncinya, kalau kamu mau nyambung langsung hubungi Ibu saja"
“Makasih ya Bu"
Aku mengontrak rumah di tempat yang jauh dari rumah Papa. Sebelumnya aku tlah menguhubungi Bu Tyas bahwa aku minggat dan aku minta ia untuk tidak memberitahu siapapun termasuk Papa.
Siang harinya aku menghubungi Mbok karena aku tahu di siang hari Papa tak ada di rumah. Mbok menangis saat mendengarku mengontrak rumah, ia menyuruhku segera pulang tapi aku tak mau. Dari Mbok aku tahu kalau di paginya Papa berteriak saat mendapati kamarku kosong dan membaca surat yang kutinggalkan tadi malam. Papa menyesal menamparku. Mbok bilang setelah membaca suraku, Papa segera ke sekolah menemui Bu Tyas dan teman-temanku, tapi Papa tak mendapatkan sedikitpun informasi. Ia pulang dengan tangan hampa.

            Satu minggu sekali aku menelepon Mbok dan menanyakan perkembangan Papa. Rupanya Papa mencariku sampai ke rumah Eyang karena ia tahu kalau aku dekat dengan Eyang dan untungnya aku tak lari ke rumah Eyang.
Aku mulai was-was ketika di akhir bulan Mbok memberitahu bahwa Papa menyebarkan selebaran mengenai hilangnya aku. Setiap aku keluar, aku selalu memakai masker dan kacamata supaya orang-orang tak mengenaliku.

                                                                        *

            Dua bulan kemudian.

            Aku sedang melihat-lihat majalah di toko buku saat headline sebuah koran menarik perhatianku. Surat cinta untuk Monic. Dengan pelan aku mengambil koran itu dan membacanya.

Monic sayang, maafkan Papa yang telah menyakiti perasaanmu.
Maafkan Papa yang telah mengalihkan perhatian Papa untukmu.
Papa salah, Papa menyesal menamparmu di hari itu.
Sudah banyak cara Papa lakukan untuk membuatmu kembali.
Dan inilah cara terakhir Papa.
Papa harap kamu membacanya.
Pulanglah nak, Papa merindukanmu.
Papa rindu gadis kecil Papa.
Papa janji akan turuti semua keinginanmu asal kamu pulang nak.
Saat kamu pulang, kamu akan lihat Papa yang sedang menunggumu di pekarangan kita.
Papa mendirikan kemah dan menghidupkan petromaks.
Nyala api didalam petromaks sama dengan nyala api semangat dalam diri Papa yang menantimu hingga detik ini dan hal ini telah Papa lakukan selama satu setengah bulan.
Sudah cukup lama Papa menantimu nak.
Pulanglah sayang.
Papa menantimu dan akan terus menunggumu.

Salam sayang, Papa


Air mataku mengalir deras, tak peduli dengan banyaknya orang yang melihatku. Di hari itu juga aku membereskan seluruh perlengkapanku, mengembalikan kunci kepada sang pemilik, dan kembali pada Papa.
Satu jam kemudian aku sampai di depan gerbang. Kulihat kemah yang berdiri beserta petromaks yang masih menyala. Segera aku berlari menghampiri tenda itu. Betapa kagetnya aku melihat Papa sedang terbaring disana.
“Papa, Monic pulang”
Sekujur tubuhnya terasa dingin sehingga aku pun berteriak memanggil Mbok dan Pak Anton untuk mengangkat Papa kedalam kamar.
 “Nduuukk ! Kamu udah pulang”
 “Iya Mbok, tolong angkatin Papa ya Pak Anton”
 “Oh iya neng”
Sementara Papa dibawa kedalam kamar, aku menelepon dokter. Sepuluh menit kemudian Pak Dokter datang dan segera memeriksa Papa yang terbaring lemah.
“Papa kamu kurang istirahat, seharusnya ia istirahat didalam kamar bukan diluar rumah, apalagi cuaca sekarang gak menentu. Ini resep obatnya, perhatikan pola makannya, jangan sampai ia tidak makan. Semoga Papa kamu lekas sembuh ya, saya permisi dulu”
“Iya dok, makasih ya dok atas bantuannya”
“Sama-sama”
Aku menunggui Papa hingga akhirnya aku tertidur dibahunya dan aku terbangun saat merasakan rambutku dibelai.
 “Papa !
“Kamu udah pulang nak"
“Pa, maafin Monic udah ninggalin Papa sampai buat Papa jadi sakit gini”
 “Ini salah Papa sayang, bukan salah kamu. Maafin Papa ya, Papa udah mutusin untuk gak berhubungan lagi dengan Tante Ratih”
 “Kenapa Pa?”
“Karena lebih baik Papa kehilangan orang lain dibanding Papa kehilangan anak Papa sendiri”
“Hehehe, makasih ya Papa”

                                                                        *
Semenjak hari itu hubungan kami membaik. Aku merasa seperti kembali ke masa dimana mama masih ada. Aku juga telah kembali ke sekolah dan saat ini aku tengah berjuang mengejar pelajaran yang kutinggalkan selama tiga bulan. Satu hal yang paling kuingat adalah petromaks yang menemani Papa untuk menungguku. Dan sekarang, di setiap kami mengingat masa-masa itu, Papa akan selalu mengatakan, “Terimakasih petromaks, kau telah menemaniku menunggu gadis kecilku kembali”


Copyright : Rahel Las Maria SimboLon

No comments:

Post a Comment