Tuesday, June 19, 2012

Terimakasih 16!



Hai dunia !! Perkenalkan namaku Beauty. Aku terlahir ke dunia tepat 15 tahun yang lalu pada tanggal 25 Januari 1996. Terlahir sebagai anak terakhir di tengah-tengah keluarga yang didominasi oleh laki-laki membuatku tumbuh menjadi remaja yang tomboi. Ayahku laki-laki, kedua abangku laki-laki, dan bundaku mantan juara karate tingkat nasional. Keluarga kami adalah keluarga super. Kau tahu apa maksud super disini? Tak ada satupun dari kami yang lemah dalam hal berkelahi, apalagi bunda. Statusnya sebagai mantan atlet membuat ia ditakuti banyak orang, apalagi oleh ibu-ibu komplek yang teramat doyan menggosipkan keluarga kami. Setiap bunda lewat di depan mereka, secepat angin gossip-gossip murahan mulai berhembus dari bibir- bibir monster itu. 

“Eh jeng, itu Bu Sam lewat. Makin makmur aja tuh badan”
“Ya ampun jeng ini, biasa atuh istri pejabat badannya makmur, kan duit buat beli beras diambil dari duit Negara, duit Negara kan banyak gitu”
“Iya ya, mobilnya juga udah  nambah tuh. Kemaren saya lihat anaknya yang nomor dua yang make”

Untungnya bunda adalah sosok yang kuat, ia tak pernah terpengaruh dengan sindiran ataupun berita-berita tak sedap yang dibuat-buat sendiri oleh warga yang tak suka dengan keberadaan keluarga kami yang selalu terlihat harmonis. 

Oya, satu bulan lagi 2011 berakhir dan itu berarti 2012 akan datang. Jika kebanyakan orang menginginkan perayaan ulang tahun di angka 17, maka aku tidak. Meski saat ini aku telah duuk di bangku kelas 1 SMA, angka 16 tetap menjadi angka terindah untukku pribadi. Angka dimana kau akan merayakan tahun terakhirmu sebagai anak-anak sebelum angka 17 yang menuntutmu untuk mampu bersikap dewasa datang. Jujur aku tak ingin melepaskan statusku sebagai anak-anak. Masa kecilku begitu menyenangkan, orang-orang disekitarku selalu memanjakanku, dan pastinya aku tak perlu repot memikirkan berbagai persoalan hidup yang seringkali membuat orang-orang dewasa frustasi dan akhirnya memilih untuk mengakhiri hidup. 

Tunggu ! Sepertinya aku juga memiliki persoalan hidup yang hampir membuatku frustasi dan untungnya tidak membuatku memilih untuk mengakhiri hidup. Beberapa hari belakangan ini ada satu hal yang mengganggu pikiranku. Begini, di SMA-ku ada satu anak laki-laki yang begitu aku kagumi, namanya Andre. Dia adalah seniorku. Ia ampan, pintar, baik dan bintang di sekolah kami. Aku ingat, pertama kali kami bertemu pada saat aku sedang mengikuti MOS. Karena aku begitu bandel dan tak pernah mau menuruti keinginan para seniorku, aku diseret ke lapangan sekolah dan disuruh untuk berdiri di depan tiang bendera. Aku diminta untuk menghormati bendera. 

“Makanya jangan bandel, kalau diperintahin senior itu harusnya nurut, bukan malah ngebantah”
“Masih anak baru aja udah sok, gimana nanti kalau udah 1 tahun disini??!!”
“Pokoknya sampai jam 2 siang nanti, kamu harus tetap berdiri disini. Hormatin tuh bendera sampai puas !”

Saat itu kondisiku sedang tidak fit namun aku tak mau mengelak, aku tak mau terlihat lemah didepan senior-senior bodoh itu. Selama 7 jam aku berdiri sambil mengangkat tangan serta wajahku ke arah bendera. Keringat-keringat batu meluncur dari dahiku dan membasahi bibirku. Waktu telah menunjukkan pukul 14.00 WIB, namun tak ada satupun dari mereka yang menyuruhku untuk berhenti dan pulang. Aku tak kuat lagi dan akhirnya jatuh menelungkup. Dagu dan dahiku menyentuh lantai lapangan yang terbuat dari semen, membuatku tak mampu berdiri, sampai akhirnya seorang laki-laki datang menghampiriku dan mengangkatku menuju ruang UKS. 

“Aduhhh..sakit kak”
“Tahan ya, lukanya harus dibersihin biar kamu gak infeksi dik”
Di ruang UKS, ia membersihkan lukaku dengan pelan. Sakit rasanya apalagi saat ia menempelkan perban di daguku.
“Auuwwwww..Sakitt” aku berteriak menahan sakit
“Udah selesai kok, sekarang kamu istirahat aja dulu ya. Kakak ke kantin dulu ambilin makanan buat kamu. Kamu belum makan kan?”
“Belum kak”
“Yaudah tunggu ya”
Aku menunggu di ruang UKS sambil tidur di atas ranjang UKS. Tak lama kemudian ia datang membawa makanan dan minuman untukku. Diberikannya sepiring nasi goreng kepadaku untuk aku makan.
“Habisin ya dik makanannya, muka kamu pucat banget tuh”
“Iya kak, makasih ya”
“Sama-sama dik. Oya, kamu Beauty kan?? Anak baru yang paling bandel dan gak pernah nurut sama senior??!” ucapnya sambil tersenyum
“Hah?? Kakak tahu namaku?”
“Iyalah dik, nama kamu udah terkenal di sekolah ini. Mereka bilang diantara anak baru yang lagi MOS cuma kamu yang gak pernah nurut sama perintah mereka”
“Hehehe, habis mereka nyuruh yang aneh-aneh kak. Masa aku disuruh nembak cowok yang gak aku kenal??!!”
“Itulah namanya MOS dik, di MOS-lah anak-anak baru diajak buat mengenal lingkungan yang akan ditempatinya selama 3 tahun kedepan. Seharusnya kamu bisa manfaatin waktu ini buat mengenal senior-senior kamu, karena untuk kedepannya kamu pasti butuh bantuan mereka dalam belajar”
“Iya sih kak, tapi….”
“Yaudah makan aja dulu, gak perlu tegang gitu dik, biasa aja.Hehehe”
 “Iya kak”
“Oya namaku Andre, kalau kamu butuh bantuan atau apa, bilang aja sama aku. Sebisa kubantu pasti aku bakal bantu”
“Iya kak, makasih banyak ya Kak Andre” ucapku sambil tersenyum

Semenjak hari itu kami menjadi sahabat. Sosoknya yang begitu bijaksana dan selalu ada saat aku butuh membuatku begitu nyaman berada didekatnya. Dan satu lagi ia tak pernah mempermasalahkan sikapku yang tomboi dan tetap memperlakukanku sebagaimana ia memperlakukan wanita . Semua terasa begitu menyenangkan saat kami bersama sampai suatu hari ia membantu teman satu kelasku yang tertimpa kecelakaan, namanya Cantika. Aku tahu kalau Cantika menyukai Andre sejak Andre menerima surat cintanya pada MOS kemarin dan karena kecelakaan itu mereka semakin dekat. Awalnya aku tak terlalu mempermasalahkan kedekatan mereka karena aku juga sering turut ikut bersama mereka. Namun lama-kelamaan sikap Cantika menjadi aneh. Ia selalu membuat Andre agar menomorduakanku karena ia pikir aku menyukai Andre, sampai akhirnya Cantika menembak Andre, Andre menerimanya dan mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Aku tak berpikir aneh ataupun cemburu, justru aku senang atas jadinya hubungan mereka. Memang awalnya aku tak cemburu tapi lama-kelamaan aku merasa ada yang hilang. Aku kehilangan sosok Andre yang selalu ada untukku saat aku membutuhkan bantuan.

Dan itulah yang aku rasakan sekarang, hal yang membuatku hampir frustasi adalah kehilangan Andre. Belakangan ini aku semakin merasa galau saat aku harus mengakui bahwa aku menyukai Andre. Aku menyukainya layaknya seorang perempuan menyukai seorang laki-laki, bukan sekedar rasa kagum akan sosok seorang kakak. 

Di masa-masa menjelang ujian semester aku semakin rindu padanya yang selalu mengajarkan aku matematika. Maklum saja, untuk pelajaran heksakta, otakku bisa dibilang sangat lambat. Sejak kecil aku sudah divonis oleh berbagai psikolog bahwa otak kananku-lah yang paling dominan dan aktif. Itulah mengapa aku sering meminta Andre mengajariku karena kedua abangku juga sibuk dan mereka tidak punya terlalu banyak waktu untuk mengajariku. Dan sekarang, di minggu-minggu sebelum ujian berlangsung, aku berjuang sendiri untuk bisa menaklukkan soal-soal ini. Terkadang aku bermimpi bisa memiliki kemampuan yang lebih dalam bidang heksakta, namun orang-orang disekitarku terutama Andre seringkali menegurku.

“Coba ya, aku bisa matematika. Kenapa aku harus jago di bidang seni?? Kenapa gak jago di bidang hitung-hitungan aja?!!”
“Hussshhh. Gak boleh ngomong gitu, seharusnya kamu bersyukur kamu bisa melukis, nyanyi, nulis, dan buat film. Banyak loh diluar sana yang pengen punya kemampuan kayak kamu termasuk aku”
“Iya juga sih, tapi……”
“Pokoknya, aku gak mau ngedenger kamu ngeluh lagi. Syukurilah talenta yang udah Tuhan kasih buatmu, karena Tuhan gak sembarang dalam memberi talentaNya”
“Hmm, iya deh, mulai sekarang aku bakal terus bersyukur dan ngurangin yang namanya ngeluh”
“Sipp, gitu kan enak”

Memang aku berjanji untuk tidak mengeluh lagi, namun dibalik itu semua aku tetap ingin menjadi orang yang jago dalam heksakta. Sepeninggal Andre, aku semakin giat dalam mempelajari matematika. Setiap buku yang didalamnya terdapat soal matematikanya aku lahap sampai habis. Tak lupa aku mengikuti private online melalui salah satu web untuk menambah pengetahuanku. 

Ulang tahun ke-16 ! Ya, ini adalah salah satu bagian dari harapanku di ulang tahun ke-16. Aku berharap di ulang tahun ke-16 ini, aku bisa mengerjakan soal-soal heksakta dengan baik, aku tetap mempertahankan dan mengembangkan bakatku di dunia seni, aku bisa mengaplikasikan Beauty yang sebenarnya didalam hidupku, dan bisa kembali memiliki Andre. Hanya itu Tuhan, dan aku harap aku mampu.
                                                                        *
Dua bulan kemudian
            “ Tok…tok…tok…”
“Siapa???”
“Tok…tok..tok..”
“Aduh siapa sih malam-malam gini ngetok-ngetok??!! Gak tau apa orang lagi enak-enakan mimpi???!!”
Sreeeetttttttttttt….
“Surpriseeeee ! Happy birthday Beauty..happy birthday Beauty..happy birthday..happy birthday..happy birthday Beauty. Yeahhh, make a wish dulu gih baru tiup lilin”
Hening sejenak.
“Amin !”
“Tiup gih lilinnya”

Lilin didepanku terdiri dari dua angka, 1 dan 6. Itu berarti umurku sudah genap 16 tahun hari ini. Ada kebahagiaan tersendiri saat aku telah meniup angka 16 didepanku. 15 tahun yang lewat sudah aku lewati dengan begitu banyak pahit dan manis dan sekarang di umur yang ke-16, aku berharap aku juga bisa melewati itu semua dengan baik. Umur baru, tantangan baru, dan tentunya harapan baru. Tuhan, aku tak meminta kemudahan dariMu, yang aku minta hanyalah sebuah kekuatan yang memampukanku tuk bisa wujudkan semua impianku.
Oya, ada yang terlupa. Apa kalian masih ingat bagian dari harapanku di ulang tahun ke-16? Bisa mengerjakan soal-soal heksakta dengan baik, tetap mempertahankan dan mengembangkan bakat di dunia seni, mengaplikasikan Beauty yang sebenarnya, dan kembali memiliki Andre. Ya, ke-4 harapanku itu masih ada dalam benak dan pikiranku. Dan apa kalian tahu kalau semua itu hampir terwujud?? Ya, di masa-masa menjelang ujian semester kemarin aku berjuang mati-matian agar nilai matematikaku mendapat nilai yang baik dan ternyata aku mendapat nilai tertinggi dikelas, yaitu 100. Seorang sahabat penaku yang berasal dari Manado mengajakku untuk membuat novelete duet bertemakan Usia 16 dan sekarang novel itu telah terbit dan dijual di berbagai toko buku. Diantara 4 harapan yang kucantumkan tersisa dua harapan yang belum terwujud, tapi apa kalian tahu kalau sisa harapan itu terwujud detik ini juga??!!

“Dik, maafin aku ya. Kemarin-kemarin aku ninggalin kamu gitu aja waktu aku udah punya pacar. Jujur aku ngerasa kehilangan momen-momen kita dulu dan sekarang aku cuma bisa bilang happy bornday ya cantik”
“Hehehe, iya santai aja sih kak, gak usah tegang gitu ngomongnya. Eh, tapi aku bukan cantik loh kak, aku Beauty. Cantik kan nama pacar kakak”
“Dik, aku sama Cantika udah putus dari sebulan yang lalu”
“Hah? Kok bisa?”
“Aku gak suka sifatnya. Egois, posesif, sok paling cantik sendiri, ya gitu deh, pokoknya aku gak suka sifatnya. Sebenarnya kemarin aku nerima dia cuma buat manasin seseorang aja, tapi sayangnya dia gak panas-panas tuh”
“Seseorang?Siapa kak?”
“Hmmm, kasihtau gak ya….”
“Kasihtau sih kak”
“Hmm, orangnya cantik, rambutnya hitam panjang, hidungnya mancung, paling bolot sama yang namanya matematika, tomboi, seniman sejati, dan sekarang dia ada didepan aku”
“Hehehe. Speechless nich kak”
“Aku cuma pengen kamu tahu aja kok dek. Dari awal kita ketemu di lapangan upacara, aku udah tertarik sama kamu. Sekarang sih aku gak minta kamu buat nerima aku, tapi nanti waktu kamu udah 17, aku harap kamu bisa terima aku”
“Makasih ya kak, aku juga sebenarnya suka. Tapi kakak tahu kan, detik ini aku baru resmi 16 tahun. Emang tahan nunggu setahun lagi? Hayoo??!”
“Aku bakal tunggu kok, aku janji. Oya, aku suka sama sifatmu yang sekarang dan aku harap kamu gak berubah. Tetaplah apa adanya, karena tanpa harus dipoles sedikitpun, kamu udah nunjukin Beauty yang sebenarnya dengan semua kebaikanmu”

Oh Tuhan, semuanya terwujud. Aku gak bisa ngomong apa-apa lagi. Cuma bisa bilang terimakasih Tuhan, terimakasih 16, selamat ulang tahun Beauty.

“ Kau tak perlu menjadi orang lain untuk bisa diterima oleh dunia sekitarmu. Jadilah dirimu sendiri dan berjuanglah untuk tetap apa adanya”



-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyright : Rahel Simbolon
Won on Event Buah Karya Penulis_Ulang Tahun ke-16

Nikmatnya Masa SMA

Ngomongin masa sekolah emang nggak ada habisnya ya. Sekalipun sekarang udah duduk di bangku kuliah rasanya pikiran ini tetap aja sering melambung ke masa-masa sekolah dulu, apalagi masa SMA yang sering dianggap sebagai masa terindah. Jujur pertama kali masuk SMA rasanya malas banget. Apalagi dengan berubahnya statusku dari yang anak swasta jadi anak negeri. Harus diakui memang SMA yang pernah ku duduki adalah SMA terfavorit di kotaku, bahkan terkenal sampai ke kota-kota lainnya.

Yang paling aku ingat dari masa SMA-ku adalah saat dimana aku duduk di bangku kelas 3, saat dimana aku dan teman-temanku harus berjuang agar bisa lulus dengan nilai yang baik.  Beberapa bulan sebelum UN, kami semua diminta untuk mengikuti pelajaran tambahan di sekolah. Di awal pelajaran tambahan, semua kelas terisi penuh oleh para siswa, karena mungkin semangatnya masih banyak. Tapi lama-kelamaan jumlah siswa yang mengikuti pelajaran tambahan bisa dihitung dengan jari. Ada kelas yang hanya berisikan 10 siswa seperti kelasku bahkan ada kelas yang hanya berisikan 3 orang sehingga mereka bak les privat. Untungnya para guru adalah PNS yang memiliki gaji tetap sehingga sedikitnya jumlah siswa tak menjadi persoalan bagi mereka. Menjelang UN yang semakin dekat, aku dan teman-teman semakin merasakan kegalauan. “Kira-kira bisa nggak ya? Kita lulus nggak ya?”. Namun dibalik itu semua kami tetap berusaha untuk senyum dan tertawa seperti biasanya, bahkan kami merasakan kedekatan yang semakin intim menjelang perpisahan. Oya, aku belum bilang kalau aku dan teman-teman duduk di kelas XII IPA E, kelas penengah antara kelas IPA dan IPS. Karena kelas kami adalah kelas IPA paling buntut, seringkali kami merasa diremehkan oleh para guru. Ya, memang bila dibandingkan dengan kelas IPA lainnya, kelas kami paling amburadul. Nggak cuma fisiknya doank loh, orang-orang di dalamnya bisa dibilang sakit jiwa juga. Setiap hujan deras datang, kelas kami tak pernah lolos dari yang namanya banjir. Alhasil setiap hujan datang, selama satu hari itu kami kebanyakan sibuk membuang air ke selokan luar kelas dibandingkan belajarnya. Para guru yang kebetulan lewat di depan kelas kami hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelas kami yang luar biasa berantakan. Kelas itu juga tak pernah lolos dari yang namanya tendangan bola karena letaknya yang bersebelahan dengan lapangan bola. Satu kata yang bisa menggambarkan keadaan kelas kami adalah miris. Tadi aku katakan bahwa isi di dalamnya adalah orang-orang sakit jiwa. Ya, memang didalamnya berisikan orang-orang sakit jiwa yang kerjanya suka ngusilin guru, memancing emosi dengan suara yang luar biasa kerasnya, ngejahilin setiap mahasiswa PPL yang masuk ke dalam kelas, pura-pura baca dengan ngediriin buku di atas meja padahal dibaliknya tidur, makan di kantin jika guru berhalangan hadir, lari ke WC jika dirasa pelajaran membosankan, dan bermain kartu remi sampai akhirnya harus ditampar oleh pejabat sekolah yang kebetulan lewat di depan kelas.

Kenakalan semasa SMA memang begitu mengasyikkan dan terasa lucu setiap mengingatnya. Namun tahukah kalian apa yang terjadi setelah kami lulus SMA? Sebagian besar dari kami diterima di beberapa PTN dan 5 orang yang ditampar tadi telah masuk dalam jajaran mahasiswa UGM, IPDN, dan STAN. Begitu membanggakan bukan? Inilah yang membuat kami semakin bangga dengan adanya kami, sekalipun kami dinilai bodoh, kami tetap berjuang untuk bisa meninggalkan kenangan yang baik.

Akhir kata aku hanya ingin mengatakan, “Nikmatilah masa sekolahmu dan buatlah kenangan indah sebelum kau meninggalkannya”.



--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
copyright : Rahel simbolon, 2012
FaiLed on Event FTS "Aku dan SekoLah"

Friday, June 1, 2012

Papaku dan Petromaksnya

Waktu telah menunjukkan pukul 23.00 WIB saat Ricko mengantarku ke rumah. Pintu gerbang telah dikunci dan itu berarti aku harus memanjat seperti biasanya.
“Lo masih bisa masuk nic?”
“Masih bisa kok, gue kan bawa serep”
“Oh yaudah, gue balik ya, lo buruan masuk gih”
“Iya, makasih ya ko”
“Yoi, sama-sama”
Aku segera menuju gerbang dan siap untuk memanjatnya. Sebelumnya tas dan kantong belanjaan terlebih dulu kulemparkan ke dalam pekarangan rumah. Memanjat gerbang adalah rutinitasku beberapa hari belakangan ini. Rasa sepi dan bosan membuatku malas berada di rumah.
“Heppp, tinggi banget sih lo gerbang, capek gue manjat lo mulu”
Aku membereskan tas dan kantong belanjaanku sambil mengeluarkan kunci serep dari dalamnya. Dari luar keadaan dalam rumah tampak gelap tanpa ada sedikitpun cahaya. Dengan terburu-buru aku bergegas menuju pintu depan dan memasukkan kunci.
“Wow. Kog gelap banget sih? Gak takut digigit nyamuk apa ya nich orang-orang rumah?”
Secara tiba-tiba lampu di ruang depan hidup.
“Dari mana kamu baru pulang jam segini?”
“Abis pesta sama temen-temen”
“Emang kamu gak punya kerjaan lain ya selain pesta?”
“Gak ada”
 “Tadi guru kamu telpon Papa, katanya kamu udah 2 hari gak masuk sekolah”
 “Monic udah males sekolah Pa, sekolah itu gak asik, Monic mau stop aja dech”
“Monic ! Kamu udah nakal ya sekarang !”
“Papa juga nakal tuh, tiap jam makan siang langsung pulang buat nemuin si Tante Ratih, mentang-mentang bos gitu jadi seenaknya sendiri”
“Monic !! Jangan kurang ajar, Tante Ratih itu kolega Papa”
“Tauk ah, gak peduli. Udah ya Pa, Monic capek mau tidur dulu”
Papa tetap memanggil-manggil, tapi aku tak peduli dan segera masuk ke kamar. Papa sudah membuatku sakit hati dengan memilih Tante Ratih sebagai calon pengganti Mama. Dulu Papa sangat menyayangiku bahkan sampai Mama tiada Papa tetap menyayangiku dan peduli dengan semua aktivitasku. Tapi sekarang, semenjak Tante Ratih hadir, Papa berubah. Papa tak pernah lagi menjemputku, Papa tak pernah lagi menanyakan bagaimana aku di sekolah, dan Papa tak pernah lagi mau kuajak makan bersama.
“Ma, aku kangen. Aku sendiri disini, Papa gak sayang lagi sama Monic, Papa cuma sayang sama Tante Ratih. Monic kangen sama Papa yang dulu”
Aku terus menangis sambil memandangi foto kami bertiga. Didalam foto itu, Papa dan Mama sedang  mencium pipiku sementara aku mengelus pipi mereka berdua. Foto itu diambil tiga tahun yang lalu saat aku berulang tahun ke-14. Andai Mama masih ada mungkin aku tak seperti sekarang. Aku yang sekarang seperti anak yang tak pernah diurus, yang liar dan nakal. Air mata yang terus menetes akhirnya membuatku tertidur pulas.

                                                                        *
“Monic, bangun yok nduk, udah jam 6”
“Hoamm, udah pagi ya Mbok”
“Udah jam 6 nduk, mandi yok biar sarapan, mbok udah siapin nasi goring kambing dimeja”
 “Nasi goreng kambing? Tumben mbok masak itu”
“Mbok inget aja kalo kamu udah lama gak nyicip makanan itu, makanya mbok buatin”
 “Iya deh, makasih ya mbok ku sayang, sini peluk Monic mbok”
 Mbok Ratna adalah pembantu di keluarga kami. Sejak kecil ia telah ikut dengan kami dan sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Saat-saat Mama sedang dirumah sakit, mbok Ratna-lah yang mengurus semua keperluanku. Maka itu aku begitu menyayanginya.
“Nduk, tadi malam mbok denger kamu berantem lagi sama Bapak”
“Iya mbok, Monic kesel. Semenjak ada Tante Ratih, Papa gak sayang lagi sama Monic”
“Kok ngomongnya gitu? Papa sayang kamu kok nduk, percaya deh sama mbok”
“Mbok kok bisa yakin?”
 “Kamu tahu gak kalau sebenarnya Papa gak pernah tidur sebelum kamu pulang nduk”
“Iya apa?”
“Iya nduk, Papa nungguin kamu terus sampai pulang”
“Kok Monic gak pernah tahu?!”
“Makanya Monic gak boleh langsung nuduh yang jelek. Eh nduk, udah jam 6.15, kamu buruan mandi gih”
“Eh iya ya, Monic mandi dulu ya mbok”
Karena keasikan cerita, aku jadi lupa waktu. Segera aku mandi sementara mbok Ratna menyiapkan buku yang akan kubawa. Tak lama kemudian aku telah rapi dan siap untuk berangkat.

                                                                        *
Aku tak bisa lagi fokus dalam menerima pelajaran. Yang kulakukan setiap hari  hanya melamun memikirkan Papa yang semakin jauh dariku. Untungnya aku dekat dengan Bu Tyas, Guru BK di sekolahku. Setiap masalah yang kuhadapi selalu kuceritakan padanya termasuk hubunganku dan Ayah yang tak lagi harmonis seperti dulu.
“Bu, saya ngerasa sendiri”
“Itu cuma ketakutan kamu saja nak, mereka yang ada dirumahmu pasti menyayangimu”
“Kalau Mbok Ratna dan Pak Anton mungkin iya Bu, tapi Papa”
“Kamu terlalu berpikir pendek, coba kamu lihat apa yang Papa lakuin selama ini untukmu. Sekalipun dia sibuk, di hari Sabtu ia selalu menyisihkan waktu untukmu bahkan sampai sekarang”
 “Iya sih Bu, tapi”
“Yaudahlah, gak usah dilanjutin lagi. Sekarang mending kamu pulang saja. Tenangin pikiran dan hatimu, ibu harap kamu bisa mengubah pikiran negatifmu akan Papamu sendiri”
“Mudah-mudahan ya Bu, saya gak janji. Permisi Bu”
Setiap orang yang tahu akan masalahku tak pernah mau membelaku. Mereka selalu mengatakan wajar atas sikap Papa yang seperti itu. Selama perjalanan pulang aku hanya diam memikirkan kata-kata Bu Tyas. Lima belas menit kemudian aku sampai di rumah dan melihat mobil Papa ada di garasi. Sudah kuduga pasti Tante Ratih ikut serta dengannya dan ternyata dugaanku benar.
“Eh Monic udah pulang ya sayang”
 “Hmm”
“Nic, Papa minta tolong ya”
 “Minta tolong apa?”
 “Tolong tambahin minum Tante Ratih, Mbok Ratna lagi ke warung”
Dengan wajah tak bersahabat aku mengambil gelas di meja itu dan membawanya ke dapur. Ide jahilku muncul saat melihat botol merica di rak bumbu. Aku ambil keripik pedas yang ada di lemari kemudian aku tuangkan setengah botol merica kedalamnya lalu aku goyang-goyangkan agar merica tercampur rata dengan keripik itu. Dengan senyum yang dipaksa, kubawa nampan berisi air sirup dan satu toples keripik ke ruang tamu. Papa yang melihat keramahanku merasa senang karena mungkin ia mengira aku tlah mengalah dan mau menerima Tante Ratih.
“Makasih Monic”
“Sama-sama Tante. Monic ke kamar dulu ya Pa, Tan”

Aku segera masuk kekamar, rasanya tak sabar menunggu reaksi Tante Ratih saat melahap habis keripik itu. Berdasarkan cerita Papa, aku tahu kalau ia sangat menyukai keripik pedas.
Lima belas menit kemudian terdengar suara rintihan dari ruang depan.
 “Aduhh”
 “Loh, kenapa dik?”
 “Perutku mas”
“Perutnya kenapa? Sakit?”
“Iya mas, kayaknya keripik yang aku makan kebanyakan merica”
“Yaudah kita periksa ke klinik aja yok, saya antarin”
“Iya mas”
Di dalam kamar aku bersorak kegirangan mendengar rintihan Tante Ratih.
“Rasain lo, pedes kan keripiknya? Sama kayak pedes hidup gue setelah lo datang dan ngerebut bokap gue”

                                                                        *
Satu jam kemudian.
“Moniccc ! Dimana kamu ? Keluar sekarang !”
Oops ! Papa memanggilku.
 “Apaan sih Pa? Mesti ya teriak-teriak dalam rumah?”
 “Papa tahu ini semua ulah kamu, kamu kan yang naruh bubuk merica di dalam keripik karena kamu tahu Tante Ratih suka keripik pedas”
 “Ih, ngapain juga Monic kayak gitu, kayak kurang kerjaan aja”
 “Moniccc !”
“Udahlah Pa, ngapain juga Tante Ratih diurusin terus, Monic ini yang diurus, Monic anak Papa, bukan Tante Ratih”
 “Moniccc !”

Plak
“Papa jahat! Papa gak sayang lagi sama Monic !”
Seumur hidupku baru kali ini Papa menamparku. Aku lari ke kamar dan tak memedulikan Papa yang memanggil-manggilku
Sampai malam aku tak keluar dari kamar dan pada saat semua telah tertidur aku keluar dengan membawa tas berisi baju-bajuku. Tak lupa aku membawa celengan, persediaan makanan, gadget, dan buku tabunganku. Aku tak tahan lagi dirumah
“Ini kuncinya, kalau kamu mau nyambung langsung hubungi Ibu saja"
“Makasih ya Bu"
Aku mengontrak rumah di tempat yang jauh dari rumah Papa. Sebelumnya aku tlah menguhubungi Bu Tyas bahwa aku minggat dan aku minta ia untuk tidak memberitahu siapapun termasuk Papa.
Siang harinya aku menghubungi Mbok karena aku tahu di siang hari Papa tak ada di rumah. Mbok menangis saat mendengarku mengontrak rumah, ia menyuruhku segera pulang tapi aku tak mau. Dari Mbok aku tahu kalau di paginya Papa berteriak saat mendapati kamarku kosong dan membaca surat yang kutinggalkan tadi malam. Papa menyesal menamparku. Mbok bilang setelah membaca suraku, Papa segera ke sekolah menemui Bu Tyas dan teman-temanku, tapi Papa tak mendapatkan sedikitpun informasi. Ia pulang dengan tangan hampa.

            Satu minggu sekali aku menelepon Mbok dan menanyakan perkembangan Papa. Rupanya Papa mencariku sampai ke rumah Eyang karena ia tahu kalau aku dekat dengan Eyang dan untungnya aku tak lari ke rumah Eyang.
Aku mulai was-was ketika di akhir bulan Mbok memberitahu bahwa Papa menyebarkan selebaran mengenai hilangnya aku. Setiap aku keluar, aku selalu memakai masker dan kacamata supaya orang-orang tak mengenaliku.

                                                                        *

            Dua bulan kemudian.

            Aku sedang melihat-lihat majalah di toko buku saat headline sebuah koran menarik perhatianku. Surat cinta untuk Monic. Dengan pelan aku mengambil koran itu dan membacanya.

Monic sayang, maafkan Papa yang telah menyakiti perasaanmu.
Maafkan Papa yang telah mengalihkan perhatian Papa untukmu.
Papa salah, Papa menyesal menamparmu di hari itu.
Sudah banyak cara Papa lakukan untuk membuatmu kembali.
Dan inilah cara terakhir Papa.
Papa harap kamu membacanya.
Pulanglah nak, Papa merindukanmu.
Papa rindu gadis kecil Papa.
Papa janji akan turuti semua keinginanmu asal kamu pulang nak.
Saat kamu pulang, kamu akan lihat Papa yang sedang menunggumu di pekarangan kita.
Papa mendirikan kemah dan menghidupkan petromaks.
Nyala api didalam petromaks sama dengan nyala api semangat dalam diri Papa yang menantimu hingga detik ini dan hal ini telah Papa lakukan selama satu setengah bulan.
Sudah cukup lama Papa menantimu nak.
Pulanglah sayang.
Papa menantimu dan akan terus menunggumu.

Salam sayang, Papa


Air mataku mengalir deras, tak peduli dengan banyaknya orang yang melihatku. Di hari itu juga aku membereskan seluruh perlengkapanku, mengembalikan kunci kepada sang pemilik, dan kembali pada Papa.
Satu jam kemudian aku sampai di depan gerbang. Kulihat kemah yang berdiri beserta petromaks yang masih menyala. Segera aku berlari menghampiri tenda itu. Betapa kagetnya aku melihat Papa sedang terbaring disana.
“Papa, Monic pulang”
Sekujur tubuhnya terasa dingin sehingga aku pun berteriak memanggil Mbok dan Pak Anton untuk mengangkat Papa kedalam kamar.
 “Nduuukk ! Kamu udah pulang”
 “Iya Mbok, tolong angkatin Papa ya Pak Anton”
 “Oh iya neng”
Sementara Papa dibawa kedalam kamar, aku menelepon dokter. Sepuluh menit kemudian Pak Dokter datang dan segera memeriksa Papa yang terbaring lemah.
“Papa kamu kurang istirahat, seharusnya ia istirahat didalam kamar bukan diluar rumah, apalagi cuaca sekarang gak menentu. Ini resep obatnya, perhatikan pola makannya, jangan sampai ia tidak makan. Semoga Papa kamu lekas sembuh ya, saya permisi dulu”
“Iya dok, makasih ya dok atas bantuannya”
“Sama-sama”
Aku menunggui Papa hingga akhirnya aku tertidur dibahunya dan aku terbangun saat merasakan rambutku dibelai.
 “Papa !
“Kamu udah pulang nak"
“Pa, maafin Monic udah ninggalin Papa sampai buat Papa jadi sakit gini”
 “Ini salah Papa sayang, bukan salah kamu. Maafin Papa ya, Papa udah mutusin untuk gak berhubungan lagi dengan Tante Ratih”
 “Kenapa Pa?”
“Karena lebih baik Papa kehilangan orang lain dibanding Papa kehilangan anak Papa sendiri”
“Hehehe, makasih ya Papa”

                                                                        *
Semenjak hari itu hubungan kami membaik. Aku merasa seperti kembali ke masa dimana mama masih ada. Aku juga telah kembali ke sekolah dan saat ini aku tengah berjuang mengejar pelajaran yang kutinggalkan selama tiga bulan. Satu hal yang paling kuingat adalah petromaks yang menemani Papa untuk menungguku. Dan sekarang, di setiap kami mengingat masa-masa itu, Papa akan selalu mengatakan, “Terimakasih petromaks, kau telah menemaniku menunggu gadis kecilku kembali”


Copyright : Rahel Las Maria SimboLon

Masa-masa Ajaib Buatan Mama

       Aku kesal karena tak mampu menemukan jawaban atas soal ini. Selama tiga jam aku berhadapan dengan soal yang sama, namun tak kunjung terselesaikan. Aku menyerah, kubiarkan kertas-kertas itu berserakan di meja sementara aku berbaring di tempat tidur. Pandanganku tiba-tiba tersita oleh buku kecil yang ada di bawah lipatan selimutku, kuambil buku itu dan kubaca. Perlahan air mataku mengalir, sudah lama aku tak menulis di buku ini, buku harian yang selalu kuisi dengan kegiatan sehari-hariku.
       Mama ! Tiba-tiba aku merindukan sosok itu. Perjalanan satu jam antara Inderalaya dan Palembang tak sanggup aku lalui akibat sakit di bagian tulang belakangku, hingga akhirnya aku memilih untuk kost di daerah sekitar kampus. Tidak terasa sudah satu setengah tahun aku berada di tempat ini, menuntut ilmu dan menjalani proses pencarian jati diri. Selama satu setengah tahun itu bisa dikatakan hanya ada empat kali pertemuan antara aku dan mama dalam kurun waktu satu bulan. Jujur setiap kali aku pulang ke rumah, aku selalu takut tak dapat kembali lagi ke Inderalaya. Beban ekonomi yang berat membuat kedua orangtuaku sulit memberikan uang seratus lima puluh ribu rupiah untuk kebutuhanku di kost selama satu minggu. Tapi mama tak pernah kehabisan akal, ia kumpulkan daun singkong, daun pepaya, kunyit, dan tanaman-tanaman lainnya dari halaman belakang rumah kami untuk dijual agar aku bisa kembali ke kost dengan membawa uang. Aku tak pernah sanggup membendung air mataku setiap kulihat jerih payahnya, namun aku yang pada dasarnya cuek tak pernah mampu mengatakan bahwa aku sungguh bangga padanya.
      Sewaktu kecil, aku tak mendapat ASI dari mama karena saat itu beliau sedang sakit dan tak ingin aku tertular oleh penyakitnya. Para tetangga yang mengetahui pun memberitahu mama bahwa kelak aku akan sakit-sakitan disaat aku mulai tumbuh remaja. Berdasarkan buku yang pernah aku baca, para dokter menyatakan bahwa seorang anak yang tidak mendapatkan ASI di masa kecilnya akan memiliki masalah dengan system pernafasan dan alat gerak dan ada kemungkinan sang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang suka memberontak. Aku berpikir semua itu ada benarnya juga. Mama tidak pernah tahu kalau aku sering merasakan nafasku tersendat, yang ia tahu hanyalah bagian tulang belakangku yang selalu terasa nyerih jika duduk terlalu lama. Aku juga merasa sifat cuek ini timbul karena aku tak mendapatkan ASI sehingga ikatan batin yang kuat antara ibu dan anak tak pernah dapat kurasakan.
     Sejak mendengar berita itu mama menjadi protektif. Ia berikan segala macam makanan yang dapat menunjang perkembangan tulangku agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, mulai dari susu, biscuit, oat, buah-buahan, dan produk olahan lainnya. Sampai saat ini aku masih takjub bila mengingat makanan-makanan yang diberikannya bukanlah produk murah melainkan produk mahal yang menurutku mustahil bisa dibeli oleh seorang ibu yang saat itu hanya berprofesi sebagai penjahit. Ya, sampai saat ini pun ibuku tetap menjahit, ada begitu banyak pakaian di lemari pakaianku yang merupakan hasil jahitannya.
    Jika ada waktu luang untuk kami bersama saat kebetulan aku pulang ke rumah, ia selalu menceritakan betapa rewelnya aku saat masih kanak-kanak. Hampir di setiap tengah malam aku selalu merengek minta dibuatkan susu, juga di setiap siang hari jika ada mobil bakery yang lewat di depan rumah kami, aku selalu memanggil mobil itu untuk berhenti di depan rumah tanpa pernah aku tahu bahwa mama tak punya cukup uang untuk membayarnya, namun mama tak pernah melarangku untuk membelinya, dan yang paling parah adalah saat aku tanpa sadar menguncinya di kamar mandi sampai ia harus berteriak sekeras mungkin agar tetangga sebelah bisa mendengar dan menolongnya keluar.
    Ya, harus aku akui bahwa masa kecilku sungguh ajaib karena adanya mama. Tak terasa sudah sembilan belas tahun aku hidup di dunia ini, itu berarti sudah sembilan belas tahun lamanya ia kerahkan seluruh tenaga, waktu, dan pikiran hanya untuk mengurusku hingga akhirnya aku bisa seperti sekarang ini. Aku masih ingat saat aku berulang tahun ke delapan belas kemarin, pagi-pagi benar ia datang ke kamarku untuk memberiku pelukan, ciuman, dan permintaan maaf karena tak bisa memberiku kado seperti saatku masih kanak-kanak dulu. Saat itu aku hanya mampu mengangguk dan tersenyum, padahal hati kecilku berteriak mengatakan bahwa keberadaan mama saja sudah menjadi kado terindah dalam hidupku. Bahkan aku merasa pelukannya terlalu berharga untuk aku yang tak pernah sekalipun memeluknya. Aku hanya mampu berdoa untuknya sebagai caraku untuk memeluknya dari jauh.
     Dan sekarang, dari tempat yang jauh darinya, kutuliskan semua kasih sayangnya di dalam buku kecil ini. Mengingat akannya membuatku lebih bersemangat sekarang. Ku hapus air mataku dan kembali mengerjakan soal. Aku membayangkan mama ada di sampingku untuk memberiku semangat. Rasanya sungguh ajaib, ketika akhirnya aku menemukan jawabannya.

Copyright : Rahel Simbolon