Ngomongin masa sekolah emang nggak ada habisnya ya.
Sekalipun sekarang udah duduk di bangku kuliah rasanya pikiran ini tetap aja
sering melambung ke masa-masa sekolah dulu, apalagi masa SMA yang sering
dianggap sebagai masa terindah. Jujur pertama kali masuk SMA rasanya malas
banget. Apalagi dengan berubahnya statusku dari yang anak swasta jadi anak
negeri. Harus diakui memang SMA yang pernah ku duduki adalah SMA terfavorit di
kotaku, bahkan terkenal sampai ke kota-kota lainnya.
Yang paling aku ingat dari masa SMA-ku adalah saat
dimana aku duduk di bangku kelas 3, saat dimana aku dan teman-temanku harus
berjuang agar bisa lulus dengan nilai yang baik. Beberapa bulan sebelum UN, kami semua diminta
untuk mengikuti pelajaran tambahan di sekolah. Di awal pelajaran tambahan,
semua kelas terisi penuh oleh para siswa, karena mungkin semangatnya masih
banyak. Tapi lama-kelamaan jumlah siswa yang mengikuti pelajaran tambahan bisa
dihitung dengan jari. Ada kelas yang hanya berisikan 10 siswa seperti kelasku
bahkan ada kelas yang hanya berisikan 3 orang sehingga mereka bak les privat.
Untungnya para guru adalah PNS yang memiliki gaji tetap sehingga sedikitnya
jumlah siswa tak menjadi persoalan bagi mereka. Menjelang UN yang semakin
dekat, aku dan teman-teman semakin merasakan kegalauan. “Kira-kira bisa nggak
ya? Kita lulus nggak ya?”. Namun dibalik itu semua kami tetap berusaha untuk
senyum dan tertawa seperti biasanya, bahkan kami merasakan kedekatan yang
semakin intim menjelang perpisahan. Oya, aku belum bilang kalau aku dan
teman-teman duduk di kelas XII IPA E, kelas penengah antara kelas IPA dan IPS.
Karena kelas kami adalah kelas IPA paling buntut, seringkali kami merasa
diremehkan oleh para guru. Ya, memang bila dibandingkan dengan kelas IPA lainnya,
kelas kami paling amburadul. Nggak cuma fisiknya doank loh, orang-orang di
dalamnya bisa dibilang sakit jiwa juga. Setiap hujan deras datang, kelas kami
tak pernah lolos dari yang namanya banjir. Alhasil setiap hujan datang, selama
satu hari itu kami kebanyakan sibuk membuang air ke selokan luar kelas
dibandingkan belajarnya. Para guru yang kebetulan lewat di depan kelas kami
hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelas kami yang luar biasa berantakan.
Kelas itu juga tak pernah lolos dari yang namanya tendangan bola karena
letaknya yang bersebelahan dengan lapangan bola. Satu kata yang bisa
menggambarkan keadaan kelas kami adalah miris. Tadi aku katakan bahwa isi di
dalamnya adalah orang-orang sakit jiwa. Ya, memang didalamnya berisikan
orang-orang sakit jiwa yang kerjanya suka ngusilin guru, memancing emosi dengan
suara yang luar biasa kerasnya, ngejahilin setiap mahasiswa PPL yang masuk ke
dalam kelas, pura-pura baca dengan ngediriin buku di atas meja padahal
dibaliknya tidur, makan di kantin jika guru berhalangan hadir, lari ke WC jika
dirasa pelajaran membosankan, dan bermain kartu remi sampai akhirnya harus
ditampar oleh pejabat sekolah yang kebetulan lewat di depan kelas.
Kenakalan semasa SMA memang begitu mengasyikkan dan
terasa lucu setiap mengingatnya. Namun tahukah kalian apa yang terjadi setelah
kami lulus SMA? Sebagian besar dari kami diterima di beberapa PTN dan 5 orang
yang ditampar tadi telah masuk dalam jajaran mahasiswa UGM, IPDN, dan STAN.
Begitu membanggakan bukan? Inilah yang membuat kami semakin bangga dengan
adanya kami, sekalipun kami dinilai bodoh, kami tetap berjuang untuk bisa
meninggalkan kenangan yang baik.
Akhir kata aku hanya ingin mengatakan, “Nikmatilah
masa sekolahmu dan buatlah kenangan indah sebelum kau meninggalkannya”.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
copyright : Rahel simbolon, 2012
FaiLed on Event FTS "Aku dan SekoLah"
No comments:
Post a Comment