Friday, June 1, 2012

Masa-masa Ajaib Buatan Mama

       Aku kesal karena tak mampu menemukan jawaban atas soal ini. Selama tiga jam aku berhadapan dengan soal yang sama, namun tak kunjung terselesaikan. Aku menyerah, kubiarkan kertas-kertas itu berserakan di meja sementara aku berbaring di tempat tidur. Pandanganku tiba-tiba tersita oleh buku kecil yang ada di bawah lipatan selimutku, kuambil buku itu dan kubaca. Perlahan air mataku mengalir, sudah lama aku tak menulis di buku ini, buku harian yang selalu kuisi dengan kegiatan sehari-hariku.
       Mama ! Tiba-tiba aku merindukan sosok itu. Perjalanan satu jam antara Inderalaya dan Palembang tak sanggup aku lalui akibat sakit di bagian tulang belakangku, hingga akhirnya aku memilih untuk kost di daerah sekitar kampus. Tidak terasa sudah satu setengah tahun aku berada di tempat ini, menuntut ilmu dan menjalani proses pencarian jati diri. Selama satu setengah tahun itu bisa dikatakan hanya ada empat kali pertemuan antara aku dan mama dalam kurun waktu satu bulan. Jujur setiap kali aku pulang ke rumah, aku selalu takut tak dapat kembali lagi ke Inderalaya. Beban ekonomi yang berat membuat kedua orangtuaku sulit memberikan uang seratus lima puluh ribu rupiah untuk kebutuhanku di kost selama satu minggu. Tapi mama tak pernah kehabisan akal, ia kumpulkan daun singkong, daun pepaya, kunyit, dan tanaman-tanaman lainnya dari halaman belakang rumah kami untuk dijual agar aku bisa kembali ke kost dengan membawa uang. Aku tak pernah sanggup membendung air mataku setiap kulihat jerih payahnya, namun aku yang pada dasarnya cuek tak pernah mampu mengatakan bahwa aku sungguh bangga padanya.
      Sewaktu kecil, aku tak mendapat ASI dari mama karena saat itu beliau sedang sakit dan tak ingin aku tertular oleh penyakitnya. Para tetangga yang mengetahui pun memberitahu mama bahwa kelak aku akan sakit-sakitan disaat aku mulai tumbuh remaja. Berdasarkan buku yang pernah aku baca, para dokter menyatakan bahwa seorang anak yang tidak mendapatkan ASI di masa kecilnya akan memiliki masalah dengan system pernafasan dan alat gerak dan ada kemungkinan sang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang suka memberontak. Aku berpikir semua itu ada benarnya juga. Mama tidak pernah tahu kalau aku sering merasakan nafasku tersendat, yang ia tahu hanyalah bagian tulang belakangku yang selalu terasa nyerih jika duduk terlalu lama. Aku juga merasa sifat cuek ini timbul karena aku tak mendapatkan ASI sehingga ikatan batin yang kuat antara ibu dan anak tak pernah dapat kurasakan.
     Sejak mendengar berita itu mama menjadi protektif. Ia berikan segala macam makanan yang dapat menunjang perkembangan tulangku agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, mulai dari susu, biscuit, oat, buah-buahan, dan produk olahan lainnya. Sampai saat ini aku masih takjub bila mengingat makanan-makanan yang diberikannya bukanlah produk murah melainkan produk mahal yang menurutku mustahil bisa dibeli oleh seorang ibu yang saat itu hanya berprofesi sebagai penjahit. Ya, sampai saat ini pun ibuku tetap menjahit, ada begitu banyak pakaian di lemari pakaianku yang merupakan hasil jahitannya.
    Jika ada waktu luang untuk kami bersama saat kebetulan aku pulang ke rumah, ia selalu menceritakan betapa rewelnya aku saat masih kanak-kanak. Hampir di setiap tengah malam aku selalu merengek minta dibuatkan susu, juga di setiap siang hari jika ada mobil bakery yang lewat di depan rumah kami, aku selalu memanggil mobil itu untuk berhenti di depan rumah tanpa pernah aku tahu bahwa mama tak punya cukup uang untuk membayarnya, namun mama tak pernah melarangku untuk membelinya, dan yang paling parah adalah saat aku tanpa sadar menguncinya di kamar mandi sampai ia harus berteriak sekeras mungkin agar tetangga sebelah bisa mendengar dan menolongnya keluar.
    Ya, harus aku akui bahwa masa kecilku sungguh ajaib karena adanya mama. Tak terasa sudah sembilan belas tahun aku hidup di dunia ini, itu berarti sudah sembilan belas tahun lamanya ia kerahkan seluruh tenaga, waktu, dan pikiran hanya untuk mengurusku hingga akhirnya aku bisa seperti sekarang ini. Aku masih ingat saat aku berulang tahun ke delapan belas kemarin, pagi-pagi benar ia datang ke kamarku untuk memberiku pelukan, ciuman, dan permintaan maaf karena tak bisa memberiku kado seperti saatku masih kanak-kanak dulu. Saat itu aku hanya mampu mengangguk dan tersenyum, padahal hati kecilku berteriak mengatakan bahwa keberadaan mama saja sudah menjadi kado terindah dalam hidupku. Bahkan aku merasa pelukannya terlalu berharga untuk aku yang tak pernah sekalipun memeluknya. Aku hanya mampu berdoa untuknya sebagai caraku untuk memeluknya dari jauh.
     Dan sekarang, dari tempat yang jauh darinya, kutuliskan semua kasih sayangnya di dalam buku kecil ini. Mengingat akannya membuatku lebih bersemangat sekarang. Ku hapus air mataku dan kembali mengerjakan soal. Aku membayangkan mama ada di sampingku untuk memberiku semangat. Rasanya sungguh ajaib, ketika akhirnya aku menemukan jawabannya.

Copyright : Rahel Simbolon

No comments:

Post a Comment