Aku kesal karena tak mampu
menemukan jawaban atas soal ini. Selama tiga jam aku berhadapan dengan soal
yang sama, namun tak kunjung terselesaikan. Aku menyerah, kubiarkan
kertas-kertas itu berserakan di meja sementara aku berbaring di tempat tidur.
Pandanganku tiba-tiba tersita oleh buku kecil yang ada di bawah lipatan
selimutku, kuambil buku itu dan kubaca. Perlahan air mataku mengalir, sudah
lama aku tak menulis di buku ini, buku harian yang selalu kuisi dengan kegiatan
sehari-hariku.
Mama ! Tiba-tiba aku merindukan sosok itu. Perjalanan satu jam antara
Inderalaya dan Palembang tak sanggup aku lalui akibat sakit di bagian tulang
belakangku, hingga akhirnya aku memilih untuk kost di daerah sekitar kampus.
Tidak terasa sudah satu setengah tahun aku berada di tempat ini, menuntut ilmu
dan menjalani proses pencarian jati diri. Selama satu setengah tahun itu bisa
dikatakan hanya ada empat kali pertemuan antara aku dan mama dalam kurun waktu
satu bulan. Jujur setiap kali aku pulang ke rumah, aku selalu takut tak dapat
kembali lagi ke Inderalaya. Beban ekonomi yang berat membuat kedua orangtuaku
sulit memberikan uang seratus lima puluh ribu rupiah untuk kebutuhanku di kost
selama satu minggu. Tapi mama tak pernah kehabisan akal, ia kumpulkan daun
singkong, daun pepaya, kunyit, dan tanaman-tanaman lainnya dari halaman
belakang rumah kami untuk dijual agar aku bisa kembali ke kost dengan membawa
uang. Aku tak pernah sanggup membendung air mataku setiap kulihat jerih
payahnya, namun aku yang pada dasarnya cuek tak pernah mampu mengatakan bahwa
aku sungguh bangga padanya.
Sewaktu kecil, aku tak mendapat ASI dari mama karena saat itu beliau sedang
sakit dan tak ingin aku tertular oleh penyakitnya. Para tetangga yang
mengetahui pun memberitahu mama bahwa kelak aku akan sakit-sakitan disaat aku
mulai tumbuh remaja. Berdasarkan buku yang pernah aku baca, para dokter
menyatakan bahwa seorang anak yang tidak mendapatkan ASI di masa kecilnya akan
memiliki masalah dengan system pernafasan dan alat gerak dan ada kemungkinan
sang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang suka memberontak. Aku berpikir semua
itu ada benarnya juga. Mama tidak pernah tahu kalau aku sering merasakan
nafasku tersendat, yang ia tahu hanyalah bagian tulang belakangku yang selalu
terasa nyerih jika duduk terlalu lama. Aku juga merasa sifat cuek ini timbul
karena aku tak mendapatkan ASI sehingga ikatan batin yang kuat antara ibu dan
anak tak pernah dapat kurasakan.
Sejak mendengar berita itu mama menjadi protektif. Ia berikan segala macam
makanan yang dapat menunjang perkembangan tulangku agar dapat berfungsi
sebagaimana mestinya, mulai dari susu, biscuit, oat, buah-buahan, dan produk
olahan lainnya. Sampai saat ini aku masih takjub bila mengingat makanan-makanan
yang diberikannya bukanlah produk murah melainkan produk mahal yang menurutku
mustahil bisa dibeli oleh seorang ibu yang saat itu hanya berprofesi sebagai
penjahit. Ya, sampai saat ini pun ibuku tetap menjahit, ada begitu banyak
pakaian di lemari pakaianku yang merupakan hasil jahitannya.
Jika ada waktu luang untuk kami bersama saat kebetulan aku pulang ke rumah, ia
selalu menceritakan betapa rewelnya aku saat masih kanak-kanak. Hampir di
setiap tengah malam aku selalu merengek minta dibuatkan susu, juga di setiap
siang hari jika ada mobil bakery yang lewat di depan rumah kami, aku selalu
memanggil mobil itu untuk berhenti di depan rumah tanpa pernah aku tahu bahwa
mama tak punya cukup uang untuk membayarnya, namun mama tak pernah melarangku
untuk membelinya, dan yang paling parah adalah saat aku tanpa sadar menguncinya
di kamar mandi sampai ia harus berteriak sekeras mungkin agar tetangga sebelah
bisa mendengar dan menolongnya keluar.
Ya, harus aku akui bahwa masa kecilku sungguh ajaib karena adanya mama. Tak
terasa sudah sembilan belas tahun aku hidup di dunia ini, itu berarti sudah
sembilan belas tahun lamanya ia kerahkan seluruh tenaga, waktu, dan pikiran
hanya untuk mengurusku hingga akhirnya aku bisa seperti sekarang ini. Aku masih
ingat saat aku berulang tahun ke delapan belas kemarin, pagi-pagi benar ia
datang ke kamarku untuk memberiku pelukan, ciuman, dan permintaan maaf karena
tak bisa memberiku kado seperti saatku masih kanak-kanak dulu. Saat itu aku
hanya mampu mengangguk dan tersenyum, padahal hati kecilku berteriak mengatakan
bahwa keberadaan mama saja sudah menjadi kado terindah dalam hidupku. Bahkan
aku merasa pelukannya terlalu berharga untuk aku yang tak pernah sekalipun
memeluknya. Aku hanya mampu berdoa untuknya sebagai caraku untuk memeluknya
dari jauh.
Dan sekarang, dari tempat yang jauh darinya, kutuliskan semua kasih sayangnya
di dalam buku kecil ini. Mengingat akannya membuatku lebih bersemangat
sekarang. Ku hapus air mataku dan kembali mengerjakan soal. Aku membayangkan
mama ada di sampingku untuk memberiku semangat. Rasanya sungguh ajaib, ketika
akhirnya aku menemukan jawabannya.
Copyright : Rahel Simbolon
Copyright : Rahel Simbolon
No comments:
Post a Comment